Betapa memahami hidup itu sederhana, yang susah adalah bagaimana kita mau mencoba melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda plus imajinasi yang tinggi. Bayangkan bagaimana Isac Newton bisa mendapatkan sebuah ilham untuk gaya gravitasi dari—yang konon katanya—sebuah apel jatuh yang mengenai kepalanya. Apa karena dari sebuah perenungan yang panjang kemudian dikombinasikan dengan imajinasi yang matang sehingga dapat menyimpulkan hukum gaya gravitasi yang hanya ada di bumi tanpa ia harus pergi jauh ke luar angkasa sana.
Saya yakin jika orang biasa yang tidak mampu—lebih tepatnya tidak mau—melihat sebuah kejadian dari sudut pandang yang lain akan sulit menerjermahkan sebuah kejadian biasa menjadi tidak biasa. Sekali lagi bayangkan! Dari sebuah jatuh cinta, eh dari apel yang jatuh maksudnya.

Ok tidak usah jauh-jauh, bagaimana sangat kreatifnya Eka kurniawan, ngga tahu siapa dia? Saya kasih tahu, dia adalah salah satu penulis Indonesia yang kondang, beberapa karyanya sangat fenomenal, seperti; Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau. Masih ngga tahu? Ah, sampean kebanyakan main PUBG atau kalau ke Gramedia cuman ikut-ikutan pacar. Ora mashoook~. 
Dia menulis di websitenya itu tentang bagaimana memahami bahasa kucing yang hanya terdengar “meaw” menjadi berbagai macam arti dengan mengambil ilham dari buku Image Music Text punyanya Roland Barthes.

Memang sedikit aneh jika kita melihat banyak hal besar bisa terilhami dari hal yang remeh. Tapi, lagi-lagi di sanalah sejauh mana kemampuan “mata” seseorang untuk bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan gila.
Jika kita pikir-pikir betapa tidak apple to applenya analogi gravitasi dengan apel yang jatuh dan analogi Eka Kurniawan soal bahasa kucing dengan karya besarnya Roland Barthes.
Menurut saya cara mendeskripsikan kadar asamnya tomat itu tidak tepat jika dibandingkan dengan sesamanya tomat—rasanya akan sama. Maka, mau tidak mau harus dianalogikakan dengan hal-hal lainnya yang berbeda seperti asamnya jeruk atau ya sekalian asamnya kelekmu sehingga terdeskripsikanlah kadar keasaman tomat.

Memang butuh perabaan imajinasi untuk mendapatkan sebuah nalar dari sudut pandang yang berbeda. Wajar Albert Einstein ngotot mengatakan imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan, sebab imajinasi itu luas dan ilmu pengetahuan itu terbatas. Singkatnya, di tulisan ini saya akan mencoba menyederhanakan logika dan perasaan dari bis delapan puluh coret. Jelas remeh dan tidak apple to apple jika dibandingkan mobil sedan berwarna merahmu yang lengkap dengan AC.

Bis delapan puluh coret ini adalah kendaraan umum yang fenomenal bagi mahasiswa Indonesia di Mesir. Selain satu-satunya jurusan bis yang bisa pergi langsung menuju Darosah (tempat kampus berada) dari Hay Asyir, bis ini juga harganya murah. Tentu dengan harganya yang miring akan ada konsekuensinya juga.  Bisnya sering penuh sehingga kita akan berdesakan, kotor, banyak pencopet dan lain-lain. Tapi konsekuensi itu bisa kalah dengan tujuan kita untuk menimba ilmu atau ya, dengan keadaan dompet yang kronis akibat kebanyakan nganterin si eneng pake Uber. Ehehe

Hidup di negeri perantauan itu sarat akan pembelajaran dan kadang kami harus siap belajar dari kekurangan yang ada di negeri itu. Iya dari bis delapan puluh coret yang kadang ada kurangnya—manusia saja ada kurangnya, apalagi bis—itu bisa mengambil banyak pelajaran. Bukan, bukan soal duduk di samping jendela bis untuk bisa melihat mahasiswi asing di nafuroh dekat kampus cewe. Tapi soal bagaimana kami kaum Adam bersikap untuk memberikan jatah kursi yang telah diduduki kepada kaum Hawa yang muda, yang muda loh ya. Kalau kalian lihat ada cowo yang duduk dan pura-pura bego ngga ngasih kursinya ke ibu-ibu atau kakek-kakek laporkan saja ke presiden.

Jadi karena bis delapan puluh coret itu sering penuh maka duduk di kursi bis adalah harta yang paling indah—bukan lagunya Keluarga Cemara—atau jawaban dari doa bangun tidur kita yang mujur. Nah, dilemanya itu ketika kita sedang asik-asiknya duduk tiba-tiba datang cewe muda. Lumayan loh berdiri berapa puluh menit untuk kemudian fokus berjam-jam di kampus Hogwarts alias al-Azhar. Apakah kita sebagai lelaki harus mengikhlaskan jatah kursi atau biarkan saja seorang gadis berdiri dengan keyakinan emansipasinya.

Pernah suatu hari si Mahmudi adik kelas saya yang waktu itu masih jadi maba culun memberikan jatah kursinya kepada seorang wanita. Padahal dia bisa duduk dikursi itu dengan usaha yang keras; bersikutan dan balapan lari dengan saya. Ketika si Mahmudi dengan spontan berdiri untuk memberikan kursinya kepada wanita itu, Ia hanya diam. Kemudian Mahmudi meyakinkan ia untuk duduk, eh malah ditatap sinis balasannya. seketika wajah Mahmudi memerah mengalahkan cat bis yang berwarna merah itu. Betapa Mahmudi sudah mendapatkan sebuah pengalaman yang mungkin kaka kelas seperti saya belum tentu mendapatkannya. Ngga tau ya, ada ngga di novelnya Kang Abik—kaka kelas saya—cerita  begini.

Dari pengalamannya si Mahmudi saya mengambil kesimpulan bahwa tidak semua wanita itu ingin diberi sebuah perhatian, bahkan menolak sebuah tindakan juga. Entahlah ada perasaan apa, mungkin wanita muda itu sudah punya pasangan atau gebetan buat ngopi, jadi menerima bentuk kebaikan dari lelaki itu hukumnya sebuah kesalahan. katanya wanita itu makhluk yang diciptakan dengan perasaan. Tapi kalau sampai dipandang sinis gitu sih saya juga bakal merasa trauma dan ogah untuk sok-sokan ngasih kursi ke wanita muda. Ya wong logikanya itu kita ngasih kursi, ya ngasih kursi aja, ngga mengharapkan wanita itu tiba-tiba balas ngasih nomor bapaknya.

Pernah juga disuatu hari di bis yang sama juga, delapan puluh coret. Saya dan Ziyad duduk di kursi bis itu. Karena waktu itu selepas pulang kampus—pulang DL maksudnya—maka bis sudah sesak seperkian detik dari kami ketika duduk. Tiba-tiba dari kesesakan itu muncul lah beberapa wanita yang kami kenali, satu angkatan dan kekeluargaan . Karena waktu itu saya dan Ziyad masih maba dan para wanita itu juga maba, tentu kami belum terlalu mengenal mereka, pun mungkin sebaliknya. Maka saya dan Ziyad hanya mendiamkan mereka. Dengan berat hati saya dan Ziyad membiarkan mereka berdiri. Saya takut dipandang sinis dan sok ngasih perhatian, takut juga terulang apa yang terjadi pada si Mahmudi. Daripada kami kena getahnya, dibilang sok caper kali, lebih baik kami dibilang tidak peka. Toh mereka masih muda, kuat berdiri, dan tidak mengemban beban ketua PPMI atau gubernur kekeluargaan yang akan temus nanti. Lagi pula di mata kalian, lelaki yang terlalu banyak baik ke para wanita juga salah kan?

Perjananan di bis hari itu pun berjalan lancar. Tapi, beberapa jam kemudian di grup WA angkatan ada saja yang menyindir kami tidak peka. Maafkanlah kami para cowo yang terlalu menajamkan logika daripada perasaan. Logika kami dengan bulat memandang kalian itu wanita muda yang masih kuat tulangnya dan belum beruban juga rambutnya, tentu sangat mampu untuk berdiri beberapa menit.

Dari permasalahan itu saya bisa menyimpulkan betapa benar lelaki itu makhluk dengan logikanya dan wanita itu makhluk dengan perasaannya. Logikanya lelaki itu ya berkata kalau kalian itu masih muda dan tentu kuat untuk berdiri, dan logika kami berbisik bahwa memberikan perhatian kadang bisa disalah artikan oleh perasaannya wanita. Entah lah apa yang dipahami para wanita.

Soal para wanita yang penuh dengan perasaannya mungkin benar. Mereka hanya diam untuk menutupi keinginannya karena perasaannya berkata; bahwa seorang lelaki itu seharusnya peka, bahkan mungkin harus sudah terlahir auto peka.  Atau perasaannya juga berkata bahwa menerima kebaikan dari lelaki  asing akan ada tafsiran yang berbeda lagi nantinya.

Lebih jauhnya lagi saya bisa memahami jika lelaki adalah makhluk dengan logikanya dan wanita dengan perasaannya adalah dari bapak dan ibu saya sendiri. Bapak itu rela pergi di pagi hari ke kantor yang jaraknya tidak dekat dan kemudian pulang di sore hari, bagi logikanya bentuk sayang kepada keluarga adalah dengan bekerja. Karena semakin banyak bekerja, maka semakin banyak pula uang untuk menghidupi keluarga. Beda halnya dengan ibu, ia kadang curhat soal Pak Ali yang sering terlihat menyirami tanaman dan menjemur pakaian di pagi hari, “Tong, kalau jadi suami nanti kaya gitu ya.” Kalimat terakhir yang diucapkan ibu ketika kemudian akan tertidur sejenak dalam perjalanan menuju pasar. Ya lihatlah, wanita akan menafsirkan cinta dari perasaannya, sehingga bentuk kasih sayang adalah yang terasa dan terlihat secara fisik.

Dari logika dan perasaannya bapak dan ibu ini kadang bisa memunculkan sedikit perdebatan dan perbedaan. Mereka tiba-tiba meributkan soal mengantarkan saya ke bandara, soal janji bapak yang terlanjur terlewat, soal telat pulangnya bapak dari kantor, dan lain-lainnya. Mereka berdua itu sudah menikah puluhan tahun loh, ngga usah lah ngomongin cinta, memang benar cinta akan menyatukan segala perbedaan dan perdebatan. Lantas kenapa masih ada perdebatan?

Selain cinta memang harus ada komunikasi yang baik untuk menyederhanakan antara logika dan perasaan. Jadi, ya silahkan saja kaum adam bersikukuh dengan logikanya dan kaum hawa berpegang teguh dengan perasaannya, dengan syarat masing-masing dari mereka mau menaruh komunikasi di tengah meja perbedaan antara logika dan perasaan. Saya rasa akan baik-baik saja walau perasaan dan logika akan sulit untuk selaras, asalkan selalu ada komunikasi sebagai problemsolvingnya.

Bapak dan ibu saya pernah sedikit ribut soal bapak yang telat pulang kerja akibat ada rapat yang tiba-tiba dan HPnya tidak bisa dihubungi. Sampai akhirnya mereka berdua duduk di meja makan kemudian berkomunikasi.  Tiba- tiba saja mereka tertawa terbahak-bahak. Usut punya usut ternyata nomor ayah yang ditelpon ibu itu adalah nomor yang sudah dipakai oleh ibu dan lupa diubah nama kontaknya.
Kadang sesedarhana itu, hanya butuh komunikasi dan saling menelanjangi ego masing-masing. Coba jika si Rangga berkomunikasi baik dengan Cinta, saya rasa tidak perlu produsernya repot-repot membuat Ada Apa Dengan Cinta 2.

Kembali soal jatah kursi di bis 80 coret. Jangan langsung kalian—masisir wati—memandang  tidak peka para masisir banin yang tidak memberikan kursinya kepada kalian. Mungkin mereka berpikir bahwa nanti akan ada nenek atau kakek yang lebih berhak diberi jatah kursi daripada kalian, atau mungkin kalian terlihat masih sanggup untuk berdiri, atau ya, takut dipandang sinis kaya si Mahmudi tadi. Tapi, jika kalian ingin duduk, mari kita berkomunikasi. “Mas, saya boleh duduk ngga?” Cukup dengan satu ucapan, saya kira lelaki yang azhari dan gentle akan langsung memberikan kursinya.

Sekali lagi komunikasi itu meredam prasangka yang muncul dari nalar logika dan perasaan. Jangan, jangan selalu berkode. Kalau diingat-ingat kami para lelaki itu hanya jago memahami kode GTA, Nascar Rumble, dan Guitar Hero.
Kalau kalian para masisirwati tidak ditawarkan untuk diantar pulang malam hari dari rapat kekeluargaan jangan langsung buru-buru ribut di status WA. Sudah menawarkan diri untuk diantar belum? Kami hanya takut mengganggu perjalanan pulang kalian yang mampir dahulu untuk membeli ice cream di samping KPMJB, sama si itu-itu.