Langit berbaik hati dengan
memunculkan bintang kepermukaanya, dan bulan yang ikut-ikutan tersenyum dengan malu menandai bahwa cuaca di Gunung
Sinai hari itu cerah.
Tapi angin yang dingin menghambat langkahku untuk
menerjang jalan yang berbatu dan
berpasir. Lihat saja pakainku yg berlapis ditambah jaket outdoor yang
tebal mempertegas bahwa cuaca cukup merepotkan. Dan jalan yang dipijak tidak
berada di pihakku, menenggelamkan kaki dan menghalang laju dengan bebatuan. Ah tapi
semua aku nikmati, rindu seorang petualang yang gila.
Di beberapa tanjankan dan
tikungan ada teman-temanku yang begitu fokus memperhatikan jalan, memastikan
gandengannya baik-baik saja, atau sekedar membuang napas mengusir lelah berjalan. Aku melewati mereka sambil
memberikan semangat untuk tetap melangkah. “kenapa mereka begitu fokus terhadap
langkahnya. Coba diam sesaat, matikan senter dan lihat betapa mesranya bintang
diatas langit sana”. Ah, mungkin mereka
hanya punya puncak sebagai tujuan gumamku dalam hati.
Jam terus berputar, satu-dua
bintang tanggal, angin masih belom mengalah menggangguku. Tapi tak terasa
langkahku sudah menjauh dari rombongan yang ada dibelakang, dan ada
sedikit rombongan di depan yang
kubiarkan melaju. Aku hanya ingin berbicara dengan gelap malam dan sedikit
berdamai dengan angin. Tapi terlalu dingin, angin masih sombong. Ah, itu di
sana pos terakhir dan pasti warung kayu yang terang dengan petromak itu hangat,
tepat untuk menunggu rombongan yang lain datang. Gumamku dalam hati.
Begitu aku memasuki pintu warung
itu mataku tertuju pada bendera-bendera dari berbagai negara. Rumania, Ekuador,
Pakistan, Timor Leste, Suriah, Kroasia, Aljazair, Afrika Selatan dan beberapa
bendera yang asing bagiku. Beberapa bendera itu sudah diberi tanda tangan dan
nama-nama pemiliknya yang lengkap dengan tanggal dan tertempel di
dinding-dinding kayu- dan sebagian tergelantung di atap.
“where are you come from?” Tanya
seorang bule mengagetkanku.
“ehm,ehm from Indonesia” jawabku
sulit dengan berusaha mengingat Bahasa inggris.
“ah, indonesier. Wie geht es lhnen?” serunya dengan nada bertanya.
“ehm…ehm…” aku memberikan isyarat
kepadanya dengan menggelengkan kepala, tidak paham.
“kein problem, komm rein!” sambil
memberikanku tempat untuk duduk di sampingnya.
Begitu ramai dan penuh di dalam
warung ini. seketika aku perhatikan mereka satu persatu. Ada yang memeliki hidung mancung dengan
berambut pirang yang lurus, ada yang memiliki mata keabu-abuan, ada yang
disekitar wajahnya ditumbuhi jenggot yang lebat, dan ada yang wajahnya keasia-asiaan
tapi hidungnya mancung, kulitnya amat putih ditambah dengan mata sipit dan
rambut hitam lurusnya. Di sini hampir semua ras berkumpul. Dan dilihat dari
raut wajah mereka sepertinya sedang ada kehebohan di warung ini.
“and who next?” Tanya seorang
bule perempuan sambil melempar pandangan ke pada yang lain.
“je, mon tour!” mengangkat tangan
sambil berdiri.
“ok, and please sing your nation
anthem” pintanya singkat.
“allons enfants de la patrie, le
jour de gloire est arrive” kemudian melempar senyum.
“good sing, and so patriotic
anthem” sambil bertepuk tangan yang diikuti penonton lainnya.
“and now , let’s see the
Indonesian men!” tegasnya sambil bertepuk tangan dan menatapku dengan senyum.
“I can’t, ican’t” tolakku dengan
senyum mati kutu.
“come on men!” menghampiriku
kemudian menarik lenganku.
“ok ok,wait” aku menarik napas
menghilangkan gugup. “indonesia…”.
“Jeg har ofte hørt det” belom
sempat aku melanjutkan nyanyiannya bule itu telah memotong.
“just sing Nasi Padang” sambil
tersenyum licik kearahku.
“yeah, yeah Nasi Padang!”
seketika bule yang lain bersorak. Riuh
“ok ok” aku mencoba menenangkan
sorak-sorai mereka.
“I still remember when I tasted
you… Nasi Padang-Nasi Padang…” aku mencoba meniru gaya Audun Kvitland.
Tiba-tiba saja tepuk tangan saling
berbalas dan mereka bersiul riuh, mereka mengangkatkan gelas ke udara. Senang
dan gembira karena mereka saling mengenalkan bahasa mereka masing-masing. Malam
yang dingin pun cemburu sekaligus kalah oleh sekelompok ras yang berkumpul
saling menghormati satu-sama lain. Warung kayu yang hangat dan damai.
Tiba-tiba khayalanku terbang
melewati atap warung ini, membisukan serunya tawa mereka, pergi jauh ke segala
arah. Ah, seandainya dunia sebesar warung ini, seandainya bisa berdamai hanya
dengan aksen bahasa yang aneh, bisa rukun dengan melupakan warna kulit dan
bendera, saling menghormati agama. Tapi cuman khayalan dan nyatanya banyak
perang terjadi, salah sangka antar negara, gengsi dengan negara tetangga, minim toleransi agama, arogansi ras. Ah khayalan ini.
4 Komentar
Kereeen, mereka aja tau nasi padang.. :D
BalasHapusDunia sebesar warung sempit bro....
BalasHapusHehee
Tpi keren bangets . . .
BalasHapusNasehat di endingnya... singkat dan sangat bermakna....
Tpi keren bangets . . .
BalasHapusNasehat di endingnya... singkat dan sangat bermakna....