Hari itu burung-burung sudah terbang dari sarangnya ribuan
kilometer, suara tukang rongsok telah silih berganti dan matahari persis berada diatas setiap kepala
orang berjaket tebal yang sedang sibuk wara-wari, menyeberangi jalan, turun
dari bis, dan berdebat kecil tentang nasib bangsanya. Tentu mereka melakukan
kesibukan demi kelangsungan hidupnya masing-masing.
Aku pun ikut larut diantara mereka, harus rela
keluar rumah-lebih tepatnya flat- melawan dingin, menambah absen kehadiran di
kelas yang sudah banyak demi urusan visa dan kertas bernama khitob (tanda untuk memperpanjang visa).
Saya berjalan kaki menuju tempat tujuan,gedung tempat
pengurusan imigrasi ini tidak jauh dari rumah saya dan berharap dengan berjalan
kaki saya bisa merefresh isi kepala sekaligus bisa mendapatkan inspirasi
untuk hal-hal yang ingin saya lakukan. “TIIINNNT!”, suara kelakson serak
keluar dari mobil yang melaju berlawanan
arah di dekat trotoar. Cih, apa tidak ada cara yang lebih sopan mengingatkan
pejalan kaki yang berjalan benar pada tempatnya!?.
Umpatku dalam hati.
Beberapa langkah pun terlewati dan beberapa menit pun telah
lalu. Aku kini menaiki tangga menuju lantai 2 yang ciri-ciri dari depan
jalannya adalah bendera bangsaku yang berkibar malu-malu. Ada beberapa orang di
dalam ruangan dan untungnya hari itu ruangan tidak menjadi “pasar” dadakan.
Seketika itu pun aku langsung bisa membedakan mana pekerja dan mana mahasiswa-beberapamahasiswa
bisa melakukan survei ini-walaupun ketepatannya tidak 100%. Wajah orang-orang
di sini ada yang bertanya-tanya, heran, ngantuk, dan kesal. Saya pun akhirnya
masuk kedalam barisan antrian. Lagi-lagi antri, adakah sistem yang lebih nyaman
selain antri. Seperti mengambil nomor antrian kemudian duduk. Ini ada seorang
ibu-ibu sudah menyerah berdiri. Buatku antrian tak masalah, karena dulu di
pondok jika hendak makan harus antri panjang, seperti mimpi ini.
Sambil menunggu antrian aku melihat beberapa kertas yang
ditempel di papan dan kaca loket. Ada satu kertas yang sangat aku perhatikan.
Ya kertas jam kerja raungan ini. Tertulis;
BAGI WARGA
NEGARA INDONESIA
1. Pengajuan Dokumen:
Pukul 10.00 s/d 12.30 – 13.30 s/d 15.00
2. Waktu Istirahat
Pukul 12.30 s/d 13.30
3. Pengambilan
Dokumen
Pukul 13.30 s/d 15.30
4. Hari Libur:
Jumat dan sabtu.
Sempit sekali waktunya. Bagaimana jika banyak mahasiswa dan
pekerja yang datang. Dengan jumlah loket yang sangat-amat terbatas maka waktu
seperti itu sangat pendek dan krusial. Tentu waktu yang seperti itu sangat amat
berefek untuk mahasiswa yang waktunya habis di kampus dan di jalan. Apalagi
untuk mahasiswa Dauroh Lughoh yang dihantui absen setiap harinya. Tapi, aku
yakin mahasiswa Indonesia amat pandai menentukan taktik untuk menaklukan
apapun.
Tiba-tiba aku berdiri menghadap kaca loket yang memantulkan
garis wajahku penuh penasaran. Ya, giliranku tiba. Lewat lubang loket aku bisa melihat seorang
ibu yang cukup berumur dan sangat fasih berbicara Bahasa Arab Amiyah
melalui HP.” Hm, sepertinya ibu ini sudah lama di sini dan bisa adu argument
dengan orang asli negeri ini”. Simpulku dalam benak.
“bu, pengen khitob” ucapku dengan senyum rada manis
plus memarkan passport seperti polisi
ketika menunjukan identitasnya di film-film Hollywood.
“itu, di sana”. Balasnya singkat. Sembari menunjuk ke arah
kursi tunggu.
Apa? Ini kumpulan khitob anak-anak bangsa yang sedang
berjuang mencari ilmu-ada juga yang sambil kerja- tergeletak begitu saja diatas
kursi yang jika aku prediksi bakal terjadi banyak hal yang tidak diinginkan. Seperti;
hilang terbawa orang lain, terciprap air, terkena minyak, atau bahkan
tersobek. Padahal untuk mendapatkan
ifadah untuk khitob itu perlu waktu 10 gerhana dan kesabaran yang 10 kali
lipat. Seketika itu akupun mencari khitobku dan dalam hitungan detik aku
mendapatkannya. Bagus! Ucapku dalam hati. Aku berjalan sambil bersiul nada
kemenangan.
Belom sampai aku keluar ruangan itu ada teman yang sedang
berbicara dengan bapak-bapak yang wajahnya masya Allah ramah.
“kenapa?” tanyaku
iseng.
“coba liat khitob ente, bener kagak namanya”. Memperingatiku
dengan muka lesu.
Dan ketika aku lihat,
waduh. Namaku salah. Berbeda antara nama passport dan khitob. Kebihan satu
huruf!
“pak ngga apa-apa kan salah nama gini, lagian dikit kok
salahnya” tegasku. Kok bisa sih typo, apa karena aku sering typo dalam menulis
jadi dibalas seperti ini. Gumamku dalam hati.
“walah, jangan. Itu penting urusannya” jawabnya
meyakinkanku.
Dan akhirnya aku kembali menyerahkan kertas khitob ke kasir
yang amat baik hati mau membenarkan.
Hari itu pun jadi hari bolos yang
amat-amat berkesan. Dan aku pulang dengan wajah yang mendung.
Jadi sobat, typo (salah dalam mengetik) itu bukan urusan
sepele. Apalagi untuk hal-hal yan penting. Ok lah, kalau typonya dengan gebetan
kamu atau temen kamu. Coba bayangin kalau typonya pas lagi akad nikah. “saya
nikahkan putri saya bernama abi binti ali” eh abi apa ani ya!?
Nb: jika ada kesamaan nama tokoh atau tempat ini adalah
kebetulan semata dan tidak ada unsur sara apapun.
0 Komentar