Ujian termin satu tahun ini bisa saya sebut adalah suhu tertinggi di kepala saya, saat suhu di Mesir sedang turun-turunnya, apalagi ada matkul yang dianggap “nightmare”nya anak fakultas Syariah Islamiyah tingkat dua. Betapa menelanjangi mata dari kantuk dan membuka baju keegoisan sang otak untuk membaca muqoror kemudian menghapalnya adalah cara terbaik meredam panasnya kenyataan soal ujian di Azhar. Saya bukan tipe orang yang menganut sistem SKS atau ideologi semacamnya. Tapi entahlah, saya merasa kurang afdol saja jika tidak belajar minimal hingga jam satu malam. Karena katanya, saat tengah malam kenangan bisa datang begitu ganas dan dengan belajar saya merasa bisa membunuhnya. Cielah~

Qodhoya Fiqh Mua’siroh atau untuk kalian yang tak biasa dengan kearab-araban bisa menyebutnya dengan; fiqh kontemporer, ehehe. matkul yang saya takuti—dan kebanyakan mahasiswa—di ujian termin  satu tahun ini membahas hablunnya fiqh dengan  jual-beli di zaman ini . Coba, saya dituntut untuk beriimajinasi melakukan berbagai macam keadaan dan situasi jual-beli seperti; hukum sewa yang berakhir dengan kepemilikan, menggunakan kartu keredit, ekspor-impor, syarat penalti, dan tender. Sepanjang hidup saya belum pernah melakukan keadaan jual-beli itu semua. Lah ya wong nek bayar itu mesti cash, dan kartu ATM isinya hanya kenangan. Jadi jalan pintas untuk bisa membayangkan praktik-praktik jual beli tersebut saya hanya bisa berpura-pura menjadi orang kaya—sambil gigit jari. Ternyata benar kata Lukman; “Menjadi sobat missqueen itu perlu kesabaran.” 

Apa kabar mahasiswa yang bengong saat melihat soal qodhoya kemarin? Rasanya hapalan selalu bertepuk sebelah tangan dengan soal-soal ujian. Tak apa, kalau daya ingat kalian sudah seperti Imam Syafi’I mungkin kalian sudah akan punya bayak follower Instagram hari ini tanpa harus memaksakan cara dengan apa yang selalu dimiriskan oleh Lukman, “panjat sosial”. Ok, kata orang-orang tidak baik mengungkit apa yang sudah terjadi. Ya, saya tidak akan mengungkit lagi soal-soal qodhoya yang berhasil membuat kita sadar betapa soal-soal di Azhar begitu tidak dapat diprediksi—dan kemudian menghalalkanmu setelah sarjana dengan cepat adalah tantangan tersendiri. Yelaah~

Dari betapa sulitnya menghapal satu muqorror penuh, memahami istilah baru dalam fiqh jual-beli, dan menahan ajakan setan, eh teman, untuk bermain PES. Qodhoya kali ini benar-benar datang sebagai mantan matkul yang paling berkesan meninggalkan kenangan manis di hati dan kenagan buruk di ingatan. Tak usahlah membahas keburukan mantan, mari kita bahas kenangan manisnya saja. Agar kita selalu yakin, rasa manis adalah hal yang Tuhan ciptakan untuk siapa yang berani berdiri melawan kepahitan.

Inti dari berbagai bab qodhoya yang saya pahami adalah bagaimana islam mencoba membebaskan belunggu-belunggu kapitalis yang datang dari isi kepala spesies hayawan natiq  (manusia) untuk memuaskan kerakusannya tanpa memikirkan sebuah kejahatan yang terjadi pada yang lainnya. Intinya—agar tidak mumet, islam mencoba menghapuskan sistem riba, ketidak jelasan, kecurangan, dan kejahatan dalam jual beli. IQ melati kadang hanya butuh penjelasan sederhana, iya kan mbah Tedjo?   

Lucunya, saya memaksakan sebuah analogi untuk kebiasaan manusia dalam bermedia sosial dengan hal-hal yang dilarang dalam muqoror qodhoya. Kehadiran media sosial, apalagi setelah ada fitur story pada Instagram, Facebook, Youtube, dan status pada Whatsapp makin membuat rasa kebiasaan manusia itu makin mudah untuk dinikmati mentah-mentah. Tentunya adalah kebiasaan pamer. Ya, pamer!

Sesuai analogi yang saya paksakan dengan qodhoya. Pamer di sini adalah hal dalam mamerkan harta dan kekayaan. Mengapa bisa? Karena secara tidak langsung apa yang kita pamerkan akan dilihat orang banyak. Tentu mereka yang mengikuti kita di sosmed tidak datang dari kalangan ekonomi yang sama—Apalagi pilihan capres yang sama. Hya hya hya

Parahnya, orang-orang yang katanya dikutuk menjadi  influenshit, eh apa sih yang bener? Yang memiki jutaan pengikut di sosmednya selalu saja memposting dengan brutal gaya hidupnya yang palsu, maaf maksudnya hedonisme dan burjois. Dari pamer yang berbentuk tersirat seperti; foto secangkir kopi di sebuah kafe berlambang buto ijo, eh cewe berlatar hijau ya? Foto suasana di jalan yang lebih memamerkan isi interior mobil yang mewah dan lain-lain dari pamer yang malu-malu hingga pamer yang secara terang-terangan seperti; foto diri yang dibaluti brand mahal—sebut saja brand berinisial awal huruf “s”  dan berakhiran huruf “e” supermi bukan? Atau sengaja menyebutkan segala apa yang ia punya dengan harga yang melebihi harga estimasi sebuah ormas atau keorganisasian mahasiswa al-Azhar di sini. Waladah~

Cik atuh mikir, apa mereka itu tidak takut kebiasaan-kebiasaan itu mempengaruhi gaya hidup para followernya? Menimbulkan rasa penasaran, hingga hanya untuk memakai sebuah brand ternama, menikmati kopi para burjois, dan lain-lain dari bentuk gaya hidup hedonisme itu akhirnya mereka Serantul-seruntul gali lubang. Rela merepotkan orang tuanya, atau hingga rela meminjam uang. Duh, apalagi di zaman di mana seseorang yang berhijrah dengan jumlah follower IGnya banyak langsung auto jadi penceramah ini, dunia onlain bukan soal hanya bagaimana kita browsing mencari informasi. Lebih dari itu, kredit dan ngutang pun kini hanya butuh kuota dan klik! Pintu buat pergi ke arah riba gampang kan?

Sehingga saya berpikir, kebiasaan-kebiasaan pamer dalam bermedia sosial juga adalah kampanye capres nomor urut… eh ngga, maksudnya kampanye secara tidak langsung untuk menyerukan hidup dengan gaya hedonisme. Yang akhirnya menimbulkan kenegatifan di mana-mana. Apalagi kita sebagai seorang muslim dilarang menyakiti seluruh makhluk dengan bentuk apapun—bentuk pamer termasuk juga. Tidak usah pamer yang membuat iri hati sobat missqueen, karena sekali lagi kata Lukman, “gua dan lu (penulis) adalah sobat missqueen yang rapuh hatinya.” Hiks~

Jadi untuk siapapun yang taraf ekonomi hidupnya diberi berlebih oleh Allah cukuplah kalian bersyukur dengan lebih giat beribadah dan beramal, kemudian merahasiakan “kelebihannya”. Toh, ngga perlu kan sampai si Qorun tahu kalau ada pesaingnya.

ndak usah ngomong, “Kita bukan pamer kok, kita itu tahaddus bin nimah.” Ini nih, kadang bodoh itu nyerempet-nyerempet pinter. Kalau njenengan tahaddus bin nimah kenapa yang banyak itu pamer di story IGnya. Tapi, Pas neraktir temen cuman beli ashob, minta kembaliannya lagi.

Oh iya, sebelum terakhir. Biar adil, saya juga ingin menganalogikan dengan kebiasaan pamer kemesraan di media sosial. Maaf ya, bukan karena saya jomblo. Tapi, lebih kepada rasa kegelian melihat dua sejoli —yang sudah halal ataupun belum—mengumbar kemesraanya yang terasa seperti menyebarkan kertas brosur kreditan motor. Di mana-mana, nyampah euy

“Loh, ngga bisa gitu! Itu anologinya ngga berbanding lurus.”

Ya sudah, analogi yang  berbanding bengkok jika seperti itu. Karena  pamer tetaplah pamer.