Sampai kswmesir.org berani menulis persoalan antre pembagian
syantoh, saya akhirnya ikut berani menulis persoalan ini juga. Betapa saya
sebagai mahasiswa di bawah naungan PPMI Mesir menghormati kinerja kalian yang
banyak nan berjubel—mungkin, atau lebih tepatnya saya tidak ingin menjadi
satu-satunya orang yang diincar kelompok tertentu karena berani mengkritik. Ini
hanya soal kerasahan yang saya rasakan dan akhirnya ada orang lain juga yang ikut
merasakannya. Soal perasaan, eh maksudnya soal kerasahaan memang seharusnya
disampaikan bukan?
Hari itu saya ikut pergi ke markas tempat PPMI berada. Saya
sebenarnya sedikit hoream untuk pergi ke sana karena cuaca yang begitu
dingin dan muqoror yang tak ada habisnya untuk dihafalkan. “Ayo, ikutan
ente ambil syantoh.” Ajak teman serumah saya. “Yang ngga ngambil bayar 50 Pond
ya.” Tambah teman saya mengultimatum para pemberontak seperti saya. Ya, di
rapat bulanan rumah kami yang lalu, kami membahas betapa kenaikan sewa rumah
yang sedang trend ini mengganggu isi dompet, ditambah dengan stok beras
yang tak sebanding dengan gaya makan anak rumah—yang jika mengambil nasi
menutupi pandangan. Maka, pembagian syantoh berisi beberapa potong ayam
dan 5 kilo beras dari Baba Rajab pemilik minimarket Aulad Rajab—entah auladnya
ini di mana sekarang—adalah jawaban dari doa yang isi dompetnya kian hari, kian
menipis. Lumayan, mengurangi pengeluaran rumah untuk membeli beras.
Sesampainya di sana orang-orang sudah memenuhi gerbang,
bahkan menjalar menutupi jalanan yang ada. Jangankan di sana, di bus yang saya
naiki pun sudah penuh dengan mahasiswa Indonesia yang berjudi untuk mengambil
syantoh. Saya jadi berpikir, bahwa selain ujian al-Azhar yang berhasil
mengumpulkan mahasiswa, pembagian syantoh sembako ini pun berhasil juga.Mahasiswa
Indonesia selain krisis untuk keilmuan, krisis juga isi dompetnya. Lucunya, ada
yang menyebut ini adalah momen di mana mahasiswa Indonesia bereuni. Ya, setelah
saya bereuni dengan Izudin, Lukman, dan teman-teman senasib lainnya, saya lebih
memilih untuk pulang langsung. Saya sudah menebak— dengan studi dan perhitungan
tepat—akan jadi seperti apa situasinya nanti saat pengambilan syantoh.
Setelah saya memperhatikan status Whatsapp teman yang masih
berjuang mengantre. Terbuktilah prediksi saya. Situasi di sana rusuh—saling
dorong, mesuh, berebut—dan tidak terkendali. Saya akhirnya tidak sia-sia
untuk memilih pulang lebih dulu dan tentunya nanti akan membayar 50 Pond untuk
rumah. Bukan bentuk hipokrit saya tidak membutuhkan bantuan. Akan tetapi saya
sangat resah dan prihatin jika situasi itu dibiarkan terus-menurus terjadi saat
pembagian syantoh—apalagi jika tidak ada yang merasa prihatin dan resah seperti
saya.
Wajah mahasiswa Indonesia akan ditaruh di mana jika keadaan
rusuh itu menjadi hal yang dibiarkan. Keadaan yang menutupi jalan mobil,
berisik dan tidak karuan. Bukankah kita mengambil syantoh itu di tengah-tengah
pemukiman penduduk Mesir. Bayangkan jika ada yang mengambil dan mengabadikan
momen itu, kemudian membagikannya ke seluruh penduduk di Mesir. Mereka mungkin
akan bertepuk tangan dengan kencang. Sebab, keluhan mahasiswa Indonesia akan
semarautnya administrasi di Mesir pun tak kalah ruwetnya dengan keadaan yang
hanya sekadar pembagian syantoh itu.
Lebih dari itu, keadaan yang semaraut itu ditambah banal
dengan kata-kata yang tidak seharusnya keluar dari pantat, eh mulut maksudnya.
Apalagi harus menertibkannya dengan sebilah tongkat, kursi, dan teriakan yang
nyaring itu. Ini sedang antre pembagian syantoh
atau demo 98 jilid dua.
“Jancok, jancok!”
Lah, kok bisa ada rakyat Sudjiwo Tedjo di sana. Ehehe
Untuk kalian para mahasiswa yang ikut antre tolonglah tertib
sedikit. Tidak usah saling mendorong, mencaci atau tindakan lainnya yang tidak
mencerminkan sama sekali sikap seorang Azhari. Di mana ideologi thawasuth
kalian yang dibanggakan? Bukankah orang yang mengantre di depan dan belakang
kalian adalah juga yang mereka belajar di bawah atap universitas al-Azhar.
Jangan sampai karena soal remeh seperti ini kalian akhirnya saling membenci dan
bermusuhan. Apalagi kalian yang mengambil jatah lebih dari yang diizinkan.
Tidakkah kalian tahu, itu adalah tindak-tanduk yang curang, yang kita sama-sama
tahu sifat curang dilarang dalam islam? Pernahkah kalian melihat
potongan video azab mayat yang terpental kemudian masuk dan berputar-putar di
mesin pengaduk semen?
Nah, untuk pihak PPMI. Mengapa pembagian syantoh
tidak dikondisikan? Apakah kumpulan kabinet tidak cukup untuk untuk membuat
sistem pengambilan syantoh? Tidakkah merasa terenyuh melihat teman
seperjuangan berjubel dan rela sesak napas demi syantoh?—Lucunya ada saja
salah satu anggota kabinet yang sempat mengabadikan momen keramaian itu
kemudian memposting dengan caption sok jenaka. Meripatmu belom pernah
kecolok thomiyah ya. Jika karena Baba Rajab
memberikan bantuan dengan jumlah langsung dan tidak berangsur kemudian
sistem tidak dibuat itu adalah alasan klise.
Pembagian syantoh bisa disalurkan ke keluargaan
masing-masing dengan data yang pernah kalian minta itu. Lebih hebatnya kalian
mendata setiap rumah kemudian menentukan kepala rumahnya masing-masing untuk mewakilkan
pemgambilan syantoh, jadi tidak akan begitu ramai antrean. Untuk kejadian kekeluargaan
yang tidak menjalankan pendistribusian secara cepat perlu dibangun komunikasi
dan jika perlu diberikan peringatan juga. Ataupun jika kendalanya adalah di
alat transportasi saya kira uang kas PPMI atau pun kekeluargaan sanggup untuk
menyewa naql. Untuk acara-acara sekelas hepi-hepi saja sanggup di
tempat yang membutuhkan dana besar. Maka hanya untuk penyewaan naql
seharusnya lebih sanggup.
Jika sistem pengambilan yang hanya sebuah pemberitahuan
melalui media sosial, saya rasa itu lebih seperti sistem rimba. Siapa cepat dia
dapat, siapa kuat dia menang. akan banyak dampak negatifnya, akan tidak
maksimum juga hasil target pembagian syantohnya.
Tapi, jika lagi-lagi terdengar celetukan, “Emang gampang
ngurus sebegitu banyak mahasiswa di sini?” Saya hanya akan tertawa di dalam
hati kemudian bertanya sebesar-besarnya; lah, memang kalian mencalonkan diri
sebagai PPMI itu untuk mengurusi apa? Bukankah kalian terpilih dari suara
mahasiswa di sini?.
Ayolah, memang tidak mudah. Tapi, semua insya Allah bisa teratasi dengan
komunikasi terbuka dan usaha yang nyata. Jangan sampai statement
teman-teman saya yang mengatakan setiap pengurus keorganisasian mahasiswa di
sini hanya untuk ke-sok keren-an atau hanya untuk ingin haji
melalui temus itu tersebar kemudian menempel di setiap kepala mahasiswa di
sini.
Mengikuti apa yang ditulis kswmesir.org. Jika memang keadaan
antre yang seperti itu adalah sebuah serangkaian acara promosi “budaya”
Indonesia yang kalian beri nama; Atsmophere of Indonesia. Saya rasa kinerja PPMI
sudah benar dan sangat tepat. Tentu inspiratif sekali.
4 Komentar
Pukul 8:26 masih aman, belum ada pertikaian. Masih gue pantau.
BalasHapusمن صبر ظفر
BalasHapusSiapa yang pulang, dia tidak dapat musaadah.
Maaf bung tulisan ini judulnya begitu kok isinya begini
BalasHapusGak cocok sama sekali🧐
Dan argument yang anda paparkan malahan membela tulisan sebelumnya dari ksw.org padahal judulnya . . .😖
Seperti mematikan api pakai bensin
BalasHapus