Diriwayatkan dari Anas r.a., beliau berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya bagimu apa yang kamu pintakan kepadaku dan kamu mohonkan kepadaku, aku mengampunimu atas apa yang ada padamu dan aku tidak memperdulikannya (berapa besar dan banyak dosa yang ada padamu), wahai anak adam, seandainya engkau datang denga dosa-dosamu sebanyak awan di langit, kemudian engkau memohon ampunanku, maka aku mengampunimu, wahai anak cucu Adam, sesungguhnya seandainya engkau datang kepadaku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menemuiku dengan tanpa menyekutukanku sama sekali, maka kutemui engkau dengan ampunan sejumlah itu pula”. (Hadits diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan begitu juga oleh Imam Ahmad, dan sanadnya Hasan.)


Ketika itu mungkin setiap orang teburu-buru menaiki tangga masjid kampus (Darul Lughoh) karena waktu istirahat telah habis.  Tapi saya berjalan cukup santai-lebih tepatnya malas- mencoba menata planning apa saja yang akan saya lakukan hari ini sambil memandangi beberapa anak tangga. Tiba-tiba mata saya tertuju pada kertas berwarna kuning yang terlipat dan tergeletak di bawah bibir tangga. Entah bagaimana saya mengambil kertas itu dan ternyata itu adalah kertas memo yang telah sedikit kusam karena debu. Saya membuka kertas itu dan terdapat Hadist di atas yang ditulis dengan  bahasa Arab yang tidak rapih. Ah, kenapa bisa hadist sebagus ini tergelatak begitu saja.

Saya mencoba menerka tulisan yang tidak rapih itu dan kemudian mencari maknanya serta membaca beberapa artikel yang bersangkutan di Google. Dan ternyata artinya begitu menakjubkan dan amat dalam. Sehingga penjelasan ustad di jam pelajaran kedua terasa bagai suara yang masuk dari telinga kanan kemudian keluar dari telinga kiri. Ya hadist ini indah dan menarik.

Pada kalimat pertama hadist ini tertulis (wahai anak cucu Adam, sesungguhnya bagimu apa yang kamu pintakan kepadaku dan kamu mohonkan kepadaku) memberitahu bagaimana Allah aza wajal begitu maha pemberi lagi maha pendengar setiap doa hambanya. Lantas kenapa masih banyak doa panjang yang belum terkabul? Coba kita sama-sama lebih melihat diri kita sendiri. Terkadang kita saja setengah hati dalam beribadah. Tidak khusyu ketika sholat, ingin dilihat oleh orang lain (ria), dan sangat tidak sabar dan pesimis dengan doa itu sendiri. Tentu saja itu akan menjadi penghalang terkabulnya doa. Salahkan diri kita masing-masing dan bukan siapa-siapa. Karena tentu Allah subhanahu wa ta’ala maha mendengar.

 Kemudian pada kalimat-kalimat setelahnya pada hadist ini menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala maha pengampun lagi maha penyayang. Ayolah jangan takut untuk berubah menjadi baik, untuk berusaha beristighfar dan bertobat kepada Allah. Bukankah dalam hadist itu Rasullulah menjelaskan bahwasannya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni dosa setiap hambanya walaupun sebanyak bungi dan langit.

Tapi syarat itu semua adalah tanpa kita menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. Karena benar sangat cemburu ketika kita yang sebagai manusia saja melihat orang yang dicintai membagi cintanya untuk mendua. Bagaimana denga Allah subhanahu wa ta’ala? Bukankah cinta Allah subhanahu wa ta’ala amat lah besar untuk hambanya? 

Jangan takut dengan perkataan orang “ah sok-sokan lu. Dulu aja lu gimana!”. Kalau perkataan itu adalah dasar dari sebuah penilain. Mengapa Rasullulah sampai harus mengeluarkan hadist “inna mal a’amalu bil khowatim” bukankah setiap pebuatan itu dinilai bagaimana akhirnya. Kalau masa lalu kita buruk dan kemudian kita berhasil  berakhir dengan baik, tapi tetap dinilai buruk. Lalu bagaimana dengan para sahabat Nabi dahulu? Bukan kah mereka dahulu penyembah berhala? Mereka jahiliyah?. Maka tidak akan ada Abu Bakar Ashidiq, Umar bin Khotob, Utsman Bin Afwan, dan Ali bin Abi Tholib rodiyallahu anhum yang kita kenal akan kebaikannya mereka. Jangan pernah takut dengan apa yang dikatakan orang lain atas perubahan baik kita. Karena mereka tidak akan pernah peduli dengan prosesnya. Wallahu a’alam.