Pagi  itu langit Jakarta sedikit kurang bersahabat. Jalan-jalan beraspal yang berlubang di sekitar bandara menampung genangan air  dari sisa hujan semalam. Kaca-kaca di jendela gedung tampak begitu lembap  dan banyak cleaning service berseragam kuning mebersihkan lantai-lantai yang basah
. Tak jauh dari pintu kedatangan penerbangan internasional ada seorang lelaki berumur sekitar  tiga puluh tahun memakukan pandangannya ke gerbang  yang penuh dengan orang-orang  yang telah selesai dari perjalanannya masing-masing. Tiba tiba ada seorang wanita yang melembaikan tangan ke arahnya. Elevia.

“Apa yang lebih hebat dijemput dari Zurich dengan mobil yang tak berubah dari sepuluh tahun yang lalu”. Elevia mencoba memecahkan keheningan. Sudah sekitar empat puluh menit mereka berdua saling tak acuh. Memperhatikan jalan, handphone dan padatnya kota  Jakarta.“Apa karena mobil ini adalah saksi bisu kenangan? Menempuh ribuan meter. Seperti waktu…”.

“Bukan, lebih tepatnya ini adalah hadiah dari papah. Siapa sih yang tahan dengan panasnya mobil ini dan koplingnya yang amat tua? Aku hanya mencoba menjaga barang pemberian dari papah”. Dani memotong perkataan Elevia. “Oh iya, bagaimana dengan pekerjaanmu di Zurich sana?”. Dani mencoba mencari tema lain dari pembicaraan.

“Oh, syukurnya semua membaik. Bahkan beberapa rumah sakit berebut mencari tanda tanganku agar aku bersedia menjadi dokter spesialis mata di rumah-rumah sakit itu”. Terangnya sambil sekilas menatap Dani.

“Wah, jadi artis dong ya. Dimintain tanda tangannya”. Kata dani sambil tersenyum. Pandangannya fokus ke arah jalan yang kadang lengang dan lebih sering padat.

“Haha, tapi tidak ada satu pun yang aku terima. Pada akhirnya aku hanya menemani seorang dokter pemilik rumah sakit terbesar di sana”. Jawab Elevia sambil ia menatap layar hp.
 
“hah, kok bisa?” Tanya dani penasaran.

“Ya, seorang dokter itu adalah calon suamiku. Kami sudah tunangan”. Jawab Elevia sambil menatap kosong ke arah jalan.

“Oh seperti itu” jawab Dani seolah ingin menyelesaikan pembicaraan.

“Ehm, bagaimana denganmu?”. Tanya Elevia berusaha memulai lagi pembicaraan yang hampir selesai.

“Aku sih seperti biasa. Mondar-mandir sana sini cari berita, nulis ini-itu, ke Koran A Koran B. Ya uangnya biasa-biasa juga”. Jawab Dani acuh sambil menatap Elevia sekilas.

“Ini lihat HP ak, kalah banget dari HP kamu, haha”. Sambil menunjukan handphone yang tak kalah antik dari mobilnya.

“Bukan itu, bagaimana dengan dunia percintaanmu?”. Tegas Elevia. Menatap wajah Dani lebih lama.

“Ehm, itu ada kafe langganan. Kamu ngga akan asing kok”.  Jelas Dani sambil membelokan setir.

***
Sore menjelang magrib itu begitu mahir melukis warna senja di langit, di atap gedung-gedung dan diujung batas jalan-jalan macet Jakarta. Memberikan aba-aba pada  lampu jalan untuk berpuisi mengatar malam. Kafe yang mereka kunjungi pun tak mau kalah. Lampu-lampu yang sayup di sudut ruangan, kursi-kursi dari kayu yang pasrah atas pengunjung, dan aroma kopi yang terus bertebaran seolah menjadi satu dimensi yang berbeda di tengah kota Jakarta. Ditambah musisi jalanan yang disewa kafe itu memainkan lagu keroncong. Menambah kesan berbeda, romantis.

Dani dengan single espresso nya yang tersisa sedikit di cangkir dan Elevia yang sudah memesan lagi cappuccino untuk  cangkir yang kedua. Sudah dua jam lebih mereka mengobrol. Saling bercerita, bertanya, melemparkan opini dan membicarakan yang telah terjadi. Ya, masa lalu.

“Dani belom berubah ya. Sama kaya mobilnya, kalau mesen ya single espresso”. Terang Elevia sambil menaruh novel terlaris di eropa yang ia baca di sepanjang perjalanan itu di atas meja.

“Oh iya, pertanyaan  tadi di mobil belom kamu jawab loh!?”. Tanya Elevia sambil menatap kea rah Dani.

“Pertanyaan apa? Percintaan?”. Dani mencoba meyakinkan.

“Tentu, apa lagi selain itu!?”. Tegas Elevia, mengerutkan kening.

“Haha, aku hanya belom menemukan siapa-siapa lagi. Ya mungkin nanti suatu saat”. Terang Dani sambil  menggeserkan gelasnya yang kosong.

“Kafe ini tidak berubah dari awal kita ke sini.Seandainya dulu kamu mau dengerin perintah aku…”. Elevia mencoba menjelaskan kata-katanya.

“Apa? Tentang papahmu yang aku tulis kasusnya di sebuah majalah!?”. Kata Dani sedikit geram.

“Sudahlah. Biarkan itu berlalu!”. Tegas dani sambil berusaha menurunkan nada bicara.

“Iya benar. Bukan tentang penggelapan dana oleh papah yang bermilyar-milyar. Tapi ini soal cintaku padamu Dani!”. Kata elevia sambil menunduk.

Keduanya terdiam. Menjadikan suara mesin penggiling kopi terdengar jelas, bahkan suara jam yang ada di dinding dekat mereka pun bisa terdegar. Dani teringat lima tahun lalu ketika ia harus menuliskan berita tentang kasus penggelapan dana yang setiap infonya didapat dari putri si pelaku. Elevia menerawang, memutar waktu lima tahun yang lalu. Mengingat bagaimana Dani berjanji untuk tidak menulis berita itu dan kemudian diketahui oleh ayahnya. Ayahnya meminta Elevia berpisah dari Dani dan pergi keluar Indonesia.

“ Apa yang lebih payah dari membohongi diri sendiri. Aku hanya ingin menghargai diriku sendiri sebagai seorang pers”. Kata Dani dengan nada pelan.

“Karena bukankah diam diatas kesalahan adalah kejahatan?”. Sambung dani sambil menatap mata Elevia yang berkaca-kaca.


Hari Pers Nasional (9 Februari)
Kairo 9 Februari.