Hari ayah telah berlalu beberapa hari yang lalu, dan bagi saya momen itu adalah momen di mana ada kaca besar yang menghadang persis di hadapan saya. Ya, saya pria tulen dan bakal calon seorang ayah, jika saya ditakdirkan panjang umur, kemudian menikah. Oh, betapa banyak PR yang menumpuk untuk merealisasikan sosok ayah  yang diekspektasikan anak, istri, bangsa, dan agama.

Dan juga momentum itu menurut saya seolah gorengan yang terlanjur dingin, dibuang salah dan dimakanpun sudah kurang enak. Ya, di momen itu setiap anak yang memiliki ayah yang  "lulus sensor" atau sesuai ekspektasi bisa dengan seenaknya memposting secara membabi-buta di ranah dunia maya dengan kalimat yang membanggakan ayah-ayah mereka. Tapi, coba kita lihat raut anak-anak yang sedikit termenung saat melihat postingan yang tersebar dan menjamur kemudian mengetahui jika hari itu adalah hari ayah, bingung harus berbuat apa, karena mungkin ayah mereka tidak sesuai ekspektasi atau tidak 'lulus sensor' dan mereka malu, lebih tepatnya hanya ingin memendam euforia yang meletup sampai akhirnya padam, kemudian sunyi.

Suatu hari saya pernah melihat postingan status WA seseorang yang menautkan link youtube. Entah bantuan semesta yang mendukung atau ada dorangan apa, saya akhirnya iseng untuk membuka tautan itu. Melihat durasi video yang lamanya sekitar empat puluh dua menit itu membuat saya malas untuk menontonnya, ditambah dengan background si pengisi videonya yang hijau merona menyilaukan pandangan. Tapi, judul dari video itu amat menohok dan membuat isi kepala dan hati saya bergidik; "Calon Suamimu Minimal Banget Punya 1 Syarat Ini." Wadaw, bagaimana wahai kalian para lelaki, bisakah hanya satu syarat itu kita penuhi? Dan akhirnya saya menonton video itu hingga selesai, bahkan ada beberapa momen yang saya ulang-ulang untuk saya lebih mengerti. Dari apa yang saya tonton di video itu banyak sekali hal yang saya setujui daripada yang tidaknya, tapi ada satu hal yang saya tidak setuju dari keseluruhannya. Ya, psikiater itu mengatakan bahwa anak akan meniru orang tuanya, atau kata pepatah; "Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya." Jadi bagi siapapun anak yang memiliki orang tua yang tidak sesuai ekspektasi maka sifatnya akan menurun. Oh really? Sedikit lucu sih orang-orang masih banyak yang percaya mentah dengan pepatah itu. Sekali lagi ini hanya opini pribadi saya.

Sebagai lelaki saya setuju dengan mantra setiap cewe di dunia, "Salah benar, wanita selalu benar," dan saya secara tegas menolak mantra wanita nomor dua puluh empat yang berbunyi, " Semua cowo sama saja."
Sudah jelas lelaki adalah imam untuk para wanita, menjadi tempat untuk wanita selalu merasa nyaman, dihargai, dan bahagia. Jadi untuk para calon ayah kalian adalah makhluk yang dituntut untuk menjadi segalanya. Ketika istri melakukan kesalahan jangan langsung menuduhnya macam-macam, kita sebagai lelaki coba berkaca lebih jauh. Mungkin lupa dengan gaun yang kita janjikan untuk dibeli dan belum terpenuhi, atau satu bait puisi beserta kecupan dikening sebelum tidur terlewatkan. Satu hal yang saya pahami dari setiap wanita yang pernah bercerita kepada saya, wanita adalah makhluk yang diciptakan dengan perasaan. Benar saja, jadi jangan heran jika kita mendapati seorang ibu yang tanda cinta ke anaknya seperti; mengantarkan anaknya yang ingin pergi, memasakkan mie goreng untuk anaknya yang ingin berenang, dan lain-lainnya yang tanda cintanya lebih menampilkan sisi perasaan. Tapi inilah sang ayah, yang cintanya lebih seperti fungsi karang bagi ekositem laut. Ayah terkesan cuek dan tegas. Jadi jangan heran jika tanda cinta ayah seperti; bekerja keras hingga larut malam, membiarkan anaknya yang terluka untuk mengobati sendiri, karena secara logika baginya cinta adalah harus bagaimana mendapatkan uang secara banyak, kemudian bagaimana membiayai keluarga, dan menjadikan anaknya tidak manja dan cengeng.

"Tong, pak Fulan masya Allah ya, udah sibuk, tapi masih aja mau jemurin baju." Ucap ibu saya di suatu pagi yang entah, dan "Nanti pergi ke pondoknya sendiri aja ya, cari tau sendiri di mana bisnya berhenti." Ucap ayah saya suatu pagi sebelum saya kembali ke pesantren.

Mengikuti apa yang dikatakan orang banyak soal logika yang penuh pada diri lelaki dan perasaan yang tumbuh kuat pada diri wanita, rasanya cinta mustahil untuk disatukan jika memang setiap makhluk keterunan Adam merefleksikan cintanya dengan logika dan keterunan Hawa mengekspresikan cintanya dengan perasaan. Karena tentu logika mengedepankan segala perhitungan yang tepat dan perasaan menajamkan hal-hal yang diprediksikan. Sekali lagi saya tidak setuju dengan mantra setiap wanita nomor dua puluh empat yang berbunyi; "Semua cowo sama saja." Coba kau lihat setiap gelas di dapur, secara kegunaan tampak samakan? Tapi sebanarnya sungguh berbeda. Maksud saya apalagi soal penciptaan manusia, pasti lebih kompleks dan lebih persisi. Ya kali, Tuhan menciptakan keturunan Adam kaya motokopi tulisan satu kertas untuk kertas yang lainnya.
Bukan hitungan jari lagi terdapat keluarga yang harmonis dan hubungan suami-istri yang langgeng hingga mereka terlihat tua. Sebut saja kisah cinta Habibi dan Ainun. Mungkin di sanalah seorang ayah berhasil menjadi tidak seperti lelaki lainnya dan seorang ibu yang tidak juga menjadi seperti wanita lainnya. Menurut saya disitulah fungsi cinta benar-benar bekerja tepat.

Karena --menurut saya--, fungsi cinta adalah memunculkan sebuah komunikasi yang terbuka yang penuh dengan kejujuran, menghapus garis ego, dan menyatukan apapun yang tampak berbeda. Coba bayangkan sepasang suami-istri yang saling terbuka membicarakan keresahannya masing-masing dengan kepala dingin dan kemudian mencari solusinya, seorang suami yang memasakkan sarapan pagi untuk keluarganya di hari libur kerja, seorang istri yang mau memahami perihal kerja seorang suami, seorang bapak yang sesekali keluar dari zona kebapakannya; memberikan cerita sebelum tidur kepada anaknya, memberikan bekal makan siang kepada anaknya, dan seorang ibu yang sesekali keluar dari zona keibuannya; tegas dengan memberikan peringatan atas kesalahan anaknya, memberikan pelajaran dengan mengedepankan logika. Tapi, sebagian orang berkata, "Setiap kita memiliki perannya masing-masing." Benar juga, tapi ini bukan soal peran,  ini soal bagaimana nanti seorang anak melihat sosok ayah dan ibu, bukan lelaki dan wanita.

Dan kita para calon ayah, itu semua memang benar harus seorang lelaki yang memulainya, kita yang harus memulai membangun jembatan komunikasi, harus menghancurkan dinding ego, dan menyatukan kepingan yang berbeda. Karena wanita tetaplah wanita, yang selalu ingin dimengerti, yang perasannya selalu dipaksakan baik-baik saja. Tetapi, lelaki tetaplah lelaki, yang fungsi hatinya sama seperti makhluk lain, yang suatu saat akan merasakan kelelahan dari sebuah usaha yang disia-siakan. Kalau kata anak FTV mah cinta bertepuk sebelah kantong, eh sebelah tangan. Jika sebuah  usaha hanya diusahakan sepihak dan tidak ada timbal balik dari salah satunya, maka ya hanya waktu yang akan berbicara. Sekriuk apapun kerupuk, pada akhirnya akan melempem juga.

Kembali kepada ayah yang tidak sesuai ekspektasi atau yang tidak "lulus sensor," kenapa saya menyebut dengan kata "ekspektasi" dan "lulus sensor?" Karena menurut saya, semua ayah ingin menjadi yang terbaik bagi keluarganya. bukan hanya ayah yang becerai dan kemudian berpisah saja, yang dimaksud dengan tidak sesuai ekspektasi atau tidak "lulus sensor," tetapi artinya lebih luas dan umum. Seperti ayah yang ada tetapi seperti tidak ada. Seperti; ayah yang tidak bisa diajak berdiskusi, ayah yang enggan menafkahi keluarganya, ayah yang tidak meluangkan waktunya untuk keluarga, dan lain-lainnya dari sifat kekurangan--contoh seperti ini yang menurut saya lebih berbahaya--. Benar kekurangan adalah sifat yang satu paket dengan manusia, maka dari itu seorang ayahpun pasti akan memiliki  kekurangan atau kesalahan. Maka, ketika sudah didapati sebuah kesalahan, hendaknya segera melakukan komunikasi dan mencari solusinya. Akan tetapi jika komunikasi sudah diusahakan dan tetap saja terjadi apa yang tidak diinginkan. Mungkin di sana hanya ada pintu yang terbuka setengah, mungkin ada sesuatu yang harus diselesaikan dengan cara terperih. Nasib adalah tamu yang datang tanpa salam, dan biru selalu menjadi takdir untuk langit terus berlapang dada.

Tapi untuk buah yang jatuh selalu dekat dengan pohonnya adalah hal yang masih banyak terjadi kemungkinan. kalau yang jatuh adalalah buah yang pohonnya dekat dengan sungai yang deras, siapa yang bisa menjamin buah itu terjatuh dekat dari pohonnya.  Maksud saya siapapun kita sebagai anak yang memiliki latar belakang orangtua yang tidak sesuai ekspektasi, tidak mesti kita nantinya akan mengikuti mereka. Apapun yang kita lihat dari kejadian sepanjang hidup orangtua kita yang salah seharusnya bisa selalu menjadi sebuah api yang harus kita padamkan di masa depannya. Kata pepatah Arab; "Bukan seorang pemuda yang berkata ini ayahku, tetapi seorang pemuda adalah yang berkata inilah aku." Entah orang banyak akan menafsirkan apa pepatah itu, tetapi saya pribadi hanya ingin menafsirkan pepatah itu adalah sebuah simbol untuk setiap pemuda selalu bisa mengubah takdir hidupnya.

"Di persimpangan itu saya bersumpah harus keluar dari situasi brokenhome dan menjadi seseorang." Kalimat ini yang diucapkan bapak presiden Indonesia dan terbukti ia berhasil menjabat dua priode sebagai orang nomor satu RI secara demokrasi, bapak SBY. Saya rasa tak usah menyebut terlalu banyak contoh orang-orang yang berhasil menjadi seribu lebih baik dari latar belakang keluarga yang brokenhome. Buatlah sungai yang mengalir deras di antara pohon-pohon yang buahnya akan jatuh, hanyutlah sejauh takdir dan nasib akan berubah, menepilah pada sebuah kenyataan yang semakin membaik. Jatuh adalah takdir, tetapi membuat sungai yang deras adalah pilihan. Karena tak selamanya buah yang jatuh dekat dengan pohonnya.