Beberapa bulan lalu kaka kelas saya di sini yang tingkat empat melakukan acara wisuda. Mereka memakai pakaian wisuda khas universitas al-Azhar, yaitu jubah hitam dengan pita hijau yang menyilang—persis seperti apa yang dikenakan peserta Miss Universe—dan lengkap dengan peci berwarna merah yang dililitkan kain putih di sekitar peci tersebut—atau sering kita sebut peci Azhar.
 Konon katanya kain yang dililitkan di peci itu dahulunya adalah kain kafan, lambang pengingat para ulama terdahulu akan kematian. Tapi, setelah saya pikir mungkin benar apadanya. Karena jubah yang dipakai para wisudawan juga berwarna  hitam. Seperti warna yang akrab dipakai untuk melayat atau mengantar jenazah  yang akan dikebumikan—kalau tidak percaya silakan lihat film-film atau videoclip Seize The Daynya Avenged Sevenfold.

Jujur tiga tahun hidup saya di sini tidak pernah datang ke acara wisuda itu. Saya selalu hanya mendapatkan pengalaman dari melihat foto-foto yang tersebar di status WA atau history Instagramnya para mahasiswa.  Mengapa demikian? Pertama, mungkin Tuhan belum mengizinkan saya untuk datang, Kedua, mungkin saya terlalu berfilosofi jauh tentang arti dari wisuda itu.
 Ya, Peci merah dililit kain putih yang konon itu adalah simbol pengingat kematian, ditambah dengan jubah berwarna hitam yang lazim dipakai orang-orang untuk melayat, mebuat saya jadi menganggap—lebih tepatnya berimajinasi—acara wisuda itu bagai perayaan saling mengingatkan kematian dan saling melayat siapa yang akan mati duluan. Apalagi jika ada yang datang memberikan bunga kepada peserta wisuda. Ah, bunga dukacitakah? atau bunga yang akan diletakan di bawah nisankah? Horror!

Tapi maksud saya di situ adalah bukan kematian sungguhan, tapi  kematian dari kehidupan mahasiswa. Mereka tak akan lagi masuk ke organisasi-organisasi kemahasiswaan, mereka tak akan lagi berdesakan di bis 80 coret yang terkutuk sekaligus terpuji, mereka tak akan lagi merasakan gatalnya tungau di kasur yang kempis, mereka akan sedikit mengurangi rasa cinta pada Ormas kemahasiswaan yang mereka urus, mereka akan dituntut untuk melanjutkan kuliah atau bekerja, mereka akan ditanya soal pernikahan. Yang terakhir ini sedikit memilukan, mereka akan ditanya soal pencapaian selama berkuliah di Azhar ini. Wadalah~

Cerita teman saya yang sekarang lagi rajin-rajinnya kuliah dan menghafal Quran ini sedikit membukakan mata. Ia bisa tiba-tiba menjadi super rajin seperti ini—Bangun pagi, pergi ke kampus yang jaraknya 1 jam setengah perjalanan, di sore harinya mengulang hapalan quran, sebelum tidur ia sempatkan membaca buku muqoror—Ternyata itu semua bekas luluh-lantahnya diPHP-in seorang wanita yang sempat ia cintai. Sialnya sekarang wanita itu entah pergi kemana. “ Bro, gua sangka si doi mau berproses dan jalanin susah atau senengnya bareng gua. Eh, tapi tiba-tiba entah ke mana dia? Boong kalau ada yang mau sama lu dari awal.” Ucapnya dengan tatapan kosong, “Terakhir denger sih dia mau nikah.” Tegasnya. “Gua udah terlanjur basah, sekarang gua jalanin semua karena diri gua sendiri, gua buktiin suatu saat.” Imbuhnya lagi.

Kemudian saya jadi menimbang-menimbang dengan si Fulan, seorang lelaki berwajah tua dan dengan semesternya  yang selalu muda. Ia selalu menggerutu soal orang-orang yang memandangnya sinis ketika ia masuk kelas yang diisi anak-anak tingkat satu. “Ya, ane tau, ane rosib. Tapi, ngga usah sinis juga ngeliatin ane.” Ucapnya di sore yang dingin, sedikit tertekan suaranya. “Ente tanyain satpam gerbang kampus ini. Dia kenal ane, saking ane seringnya ngampus.” Katanya di dunia tidak ada manusia yang akan memperhatikan proses atau usahanya seseorang.

Benar saja semenjak sejak saya masih SD hingga SMA yang selalu diberi hadiah adalah mereka yang juara pertama , kedua, ketiga, dan sekarang di perkuliahan ini yang diberi takrim dari kekeluargaan dan KBRI adalah mereka yang berhasil mendapatkan nilai jayyid jiddan atau mumtaz. Oh, tidak adakah penghargaan untuk orang-orang yang usahanya besar tapi keberuntungannya kecil? Adakah pertanyaan yang lebih membahas soal usahanya daripada hasilnya?

Saya jadi beranggapan bahwa manusia itu tak lebih seperti hirarki yang palsu, apapun hubungannya itu. Mereka akan selalu mencoba menghilangkan rasa takut dengan rasa takut yang berlebih, melampiaskan dan memaksakan apa-apa yang belum tercapai pada orang lain, mementingkan kepentingan masing-masing meski dibungkus rapih  dengan rasa “kebersamaan,” dan lain-lain dari sifat kekurangannya manusia yang bukan Tuhan.
Oh iya Tuhan, saya pernah dengar dan baca, katanya, “Tuhan yang akan selalu bisa melihat dan menilai usahanya manusia.” Tapi, tidak usah Tuhan dulu, saya ingin buktikan bahwa  masih adakah manusia yang menghargai usahanya seseorang?

Sejak saat ini saya akan selalu berusaha mengumpulkan tiket bis 80 coret. Bis yang penuh dengan gegap-gempita. Yang setiap mahasiswa di sini tahu seberapa perjuangannya untuk mengalahi jarak antara Hay Asyir-Darosah, untuk mengangkat kebodohan, untuk membunuh ego agar memberikan kursi kepada yang lebih membutuhkan, yang menguji kesabaran kala kita harus berdiri dan berdesakan di saat jalan raya macet, yang kumuh dan tidak ber-AC, yang harganya perlahan semakin mahal.

Saya akan coba berusaha untuk yang terbaik, tapi jika memang hasilnya belum sempurna ...

Ibu, ayah,  nanti kalau saya telah wisuda dan kemudian pulang. Dan saya hanya membawa sekotak kardus yang penuh dengan tiket bis 80 coret sebagai sebuah tanda usaha, akankah kau masih menerimaku?